Pernikahan yang diakui sah menurut agama dan kepercayaan pasangan dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah. Akta nikah diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) sebagai catatan resmi perkawinan. Namun, untuk bisa mengurus akta nikah, ada sejumlah persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kedua mempelai. Untuk mengurus akta nikah tidaklah semudah membuat undangan pernikahan online di nicewedding.id, jadi kamu harus simak syarat dan cara membuat akta nikah di bawah ini.
Syarat-syarat Melangsungkan Pernikahan Terbaru 2023
Persyaratan untuk mengurus akta nikah meliputi :
- Membawa berkas-berkas seperti map berwarna merah untuk menyimpan semua berkas persyaratan
- Surat keterangan dari masing-masing kelurahan berupa surat N1 (surat pengantar perkawinan)
- Surat N2 (surat permohonan kehendak perkawinan)
- Surat N4 (surat izin orang tua)
- Fotokopi KTP dan KK kedua mempelai yang telah dilegalisasi lurah
- Fotokopi akta kelahiran kedua mempelai
- Pas foto suami dan istri berdampingan ukuran 4 x 6 berwarna
- Fotokopi KTP dua orang saksi selain orangtua
- Fotokopi KTP orangtua kedua mempelai
- Surat pernyataan belum pernah menikah dengan meterai Rp6.000 dan diketahui oleh 2 orang saksi dan stempel RT/RW setempat
- Akta kelahiran masing-masing fotokopi dan asli
- Surat nikah pernikahan agama fotokopi dan asli
- Dan surat izin dari atasan/KPI (untuk anggota TNI-Polri)
Menurut informasi di website resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk situasi tertentu, seperti pernah bercerai atau suami/istri sudah meninggal, dibutuhkan kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian suami/istri.
Jika perkawinan dilakukan secara adat dan tidak memiliki bukti perkawinan, maka proses penetapan pengadilan negeri perlu dilakukan untuk membuktikan perkawinan tersebut sah.
Hal yang sama berlaku bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun dan menikah tanpa persetujuan orang tua. Jika calon mempelai pria di bawah usia 19 tahun dan wanita di bawah usia 16 tahun, maka surat izin dari pengadilan negeri juga diperlukan.
Sedangkan bagi orang asing yang ingin mengurus akta nikah, perlu melampirkan dokumen seperti paspor, KITAP/KITAS dari imigrasi, SKLD dari kepolisian, KTP/KKISKTI/SKDS pendaftaran orang asing dari dinas, dan surat izin dari kedutaan/perwakilan negara asing.
Panduan Cara Membuat Akta Nikah
Inilah panduan praktis untuk mengurus akta nikah. Persiapkan dulu seluruh dokumen dan berkas yang diperlukan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah semua dokumen siap, langkah selanjutnya adalah melakukan pendaftaran pernikahan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Berikut adalah langkah-langkah yang harus Anda lakukan saat ingin mengurus pembuatan akta nikah:
- Bawa dokumen asli yang diperlukan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk diverifikasi oleh petugas dan menentukan jadwal pencatatan perkawinan.
- Lakukan pencatatan perkawinan di instansi pelaksana tempat perkawinan terjadi.
- Isi formulir pencatatan perkawinan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan melampirkan seluruh persyaratan yang dibutuhkan.
- Pejabat pencatatan sipil akan mencatatkan data Anda pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.
- Kutipan akta perkawinan nantinya diberikan kepada suami dan istri satu per satu.
Jangan lupa, idealnya pencatatan perkawinan harus dilakukan sepuluh hari kerja sejak tanggal pendaftaran. Jika kurang dari sepuluh hari kerja, maka harus mendapat dispensasi dari camat yang ditandatangani. Dengan mengikuti panduan ini, Anda akan mendapatkan akta nikah dengan mudah dan cepat.
Syarat Melangsungkan Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Kata-kata dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tentu saja, perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing serta tercatat oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa melangsungkan perkawinan. Pasal 6 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa persetujuan dari kedua calon mempelai harus menjadi dasar dalam melangsungkan perkawinan. Ini bertujuan untuk melindungi kepentingan perempuan dari perkawinan paksa atau perkawinan di bawah umur.
Untuk seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun, izin dari kedua orang tua diperlukan untuk melangsungkan perkawinan. Jika salah satu atau kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang lain yang mampu menyatakan kehendaknya.
Namun, jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas. Selama mereka masih hidup dan dalam keadaan bisa menyatakan kehendaknya.
Jika terdapat perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang berkepentingan, maka Pengadilan dapat memberikan izin atas permintaan orang yang akan melangsungkan perkawinan.
Selain itu, usia calon mempelai juga harus memenuhi persyaratan. Pihak pria harus sudah mencapai usia 19 tahun, sementara pihak wanita harus sudah mencapai usia 16 tahun.
Jika terdapat penyimpangan terhadap ketentuan usia tersebut, dispensasi dapat diminta kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Jadi, sebelum melangsungkan perkawinan, pastikan bahwa semua syarat telah dipenuhi dengan baik.
Perkawinan Menurut Undang-Undang: Larangan dan Pencatatan
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat beberapa hal yang diatur tentang perkawinan yang dilarang.
Perkawinan dilarang antara dua orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping seperti antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
Selain itu, perkawinan juga dilarang antara yang memiliki hubungan semenda seperti mertua, anak tiri menantu, dan ibu/bapak tiri. Ada juga hubungan sepersusuan seperti orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi/paman sesusuan yang dilarang untuk menikah.
Perkawinan yang dilaran lainnya adalah perkawainan antara saudara dengan isteri atau dengan bibi ataupun keponakan dari istri, untuk seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari satu orang.
Terakhir, perkawinan yang dilarang oleh agama atau peraturan lain juga termasuk dalam perkawinan yang tidak diizinkan. Sebagai contoh, masih terikatnya perkawinan atau adanya perkawinan antar saudara sepupu yang dilarang dalam hukum adat tertentu.
Namun, apakah jika perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak sah?
Proses pencatatan perkawinan sendiri sebenarnya tidak menjadikan perkawinan tersebut tidak sah karena pencatatan hanya merupakan proses administratif semata. Dalam konteks agama atau adat, perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap sah.
Namun, dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan sudah menjadi bagian dari hukum positif karena hanya dengan proses ini maka setiap pihak akan diakui segala hak dan kewajibannya di depan hukum. Pencatatan perkawinan juga berdampak pada hak-hak dasar anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Siapa yang bertugas melakukan pencatatan perkawinan?
Tiap-tiap perkawinan harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Bagi yang menikah adalah beragama agama Islam, maka proses pencatatan akan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama selain Islam seperti Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, Penghayat, dan lain-lain, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).